Sunday, June 21, 2015

Terseret kasus HAM & korupsi, Sutiyoso dinilai tak layak jadi KaBIN

Badan Relawan Nasional (BRN) ikut menolak pencalonan Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Sutiyoso sebagai calon tunggal kepala BIN. Sebab, pencalonan purnawirawan itu diendus beraroma bagi-bagi jabatan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Demikian disampaikan aktivis BRN Eky Tarigan, dikatakannya jabatan kepala BIN bukanlah alat dagang politik. Menurut dia, BIN memiliki peran yang terlalu vital bagi stabilitas negara sehingga, tidak boleh diserahkan kepada sembarangan orang.

"Sementara tidak ada satupun ketua partai politik menduduki jabatan di kabinet, di sisi lain pencalonan kepala Badan Intelijen Negara yang bukan porsi politik diberikan kepada seorang ketua parpol," kata Eky dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (21/6).

Eky menilai, menjadi seorang kepala BIN memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga keamanan negara. Atas dasar itu, lembaga BIN mempunyai wewenang yang besar. Pasalnya, kinerja intelijen dianggap sebagai pekerjaan bersifat khusus (extra ordinary) dari hukum maupun pelaksanaan hak asasi manusia.

Lebih jauh, Eky memaparkan, bahwa untuk menunjang tugas tersebut, pos belanja intelijen bersifat rahasia. Artinya, lembaga penegak hukum bakal sulit membongkar kasus-kasus yang melibatkan petinggi BIN.

agen sbobet

Sehingga, dinilai Eky, dengan kekuasaan seperti itu akan sangat berbahaya jika BIN dipimpin oleh orang yang tidak tepat. "Penetapan Sutiyoso sebagai calon Kepala Badan Intelijen Negara, tidak mencerminkan adanya niat baik serta sangat melukai perasaan Rakyat dan Negara Republik Indonesia," ujarnya.

Terlebih rekam jejak Sutiyoso, lanjut Eky, jauh dari kata bersih dalam hal penegakan hak asasi manusia. Bahkan, dia menyebut peristiwa penyerangan kantor pusat PDI di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 silam merupakan contoh yang nyata.

"Sutiyoso yang ketika itu menjabat sebagai Pangdam V Jaya, harus ikut bertanggung jawab. Kesaksian menyebutkan adanya pertemuan di Kodam V Jaya maupun rumah kediaman Sutiyoso pada saat itu. Dan bahkan pada 27 Juli 1996 pukul 05.00 WIB pagi Sutiyoso memerintahkan pergerakan massa untuk menyerbu kantor PDI saat itu," beber dia.

Selain itu, Eky menuding mantan Gubernur DKI dua periode itu telah merugikan keuangan negara semasa kepemimpinannya dalam pelaksanaan proyek-proyek seperti, pembebasan lahan Taman BMW, pengadaan busway tahun 2003-2004 serta pembangunan fasos dan fasum 68.400 rumah susun.

"Ada juga dugaan korupsi penggelembungan dana pengadaan blanko surat ketetapan pajak daerah (SKPD) yang menempel pada STNK di Dispenda DKI Jakarta," tandasnya.

posted by:
bola125

No comments:

Post a Comment